CONTOH MAKALAH EMANSIPASI KESETARAAN GENDER
EMANSIPASI KESETARAAN GENDER
Contohmakalah.blogspot.com
SEKOLAH
TINGGI MANAJEMEN CONTOH MAKALAH SOSIAL
TAHUN 2016
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Pringsewu,
22 Januari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................... 2
1.3 Tujuan
Penulisan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Gender........................................................................................... 3
2.2 Konsep
dan Isu Gender.................................................................................. 5
2.3 KKG................................................................................................................ 7
2.4 PUG................................................................................................................ 13
2.5 Gender
Dalam Kurikulum dan Proses Pendidikan......................................... 13
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan...................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar
Belakang
Isu tentang
gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam
perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu
terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar,
diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait
dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan
dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat
internasional, negara, keagamaan, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan
rumah tangga.
Gender
dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung
jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung
diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol
dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Dari
penyiapan pakaian pun kita sudah dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam
hal mainan, anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan mobil-mobilan,
kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan
diberi mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia
remaja perlakuan diskriminatif lebih ditekankan pada penampilan fisik,
aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan motif baju juga ada semacam
diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai
oleh remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi.
Seorang laki-laki lazimnya harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik,
elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan harus bisa memasak, menjahit,
dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal yang mengalami
diskriminasi tersendiri.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa itu emansipasi
kesetaraan gender?
2.
Apa itu Gender?
3.
Bagaimana mengaplikasikan KKG dan PUG dalam
pendidikan?
1.3.
Tujuan
1. Untuk
memahami apa itu gander, isu gender, kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dan
pengarusutamaan gender (PUG)
2. Untuk
Memahami kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dan pengarusutamaan gender (PUG)
dalam pendidikan
3. Untuk
mengaplikasikan KKG dan PUG dalam pendidikan
BAB II
pembahasan
2.1 Pengertian Gender
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan
sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah.
Heddy Shri
Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam
beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan
makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai
suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender
sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk
memandang kenyataan.
Epistimologi
penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme
yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran
fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat
terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari
unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis
dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan
karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih
banyak para ilmuwan yang lain.
Dalam buku
Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan
dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan
sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat
tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain
(Mansour Fakih 1999: 8-9).
Secara umum,
pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia
dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat
perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila
dilihat dari nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara
sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada
pada laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan
atau memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan
fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena
keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut
kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan
pembangunan.
Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran
manusia atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat
dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sitem
nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender
dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial dam
budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat
universal dan tidak berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional
masyarakatnya.
2.2 Konsep Dan Isu Gender
Berbagai literatur yang membahas
mengenai gender antara lain dikemukakan oleh megawangi (1999), Darahim (2000),
dan literatur lainnya, pusat penelitian gender dan peningkatan kualitas
perempuan (2001), bunga rampai panduan dan bahan pembelajaran pengarusutamaan
gender dalam pembangunan nasional (2004) dan lain-lain, menyimpulkan bahwa seks
dan gender merupakan konsep yang berbeda. Seks mengacu pada perbedaan jenis
kelamin yang ditentukan secara biologis yang secara fisik melekat pada
masin-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin
merupakan kodrat atau ketentuan tuhan, sehingga sifat permanen dan universal.
Berebeda halnya dengan gender, gender adalahperbedaan peran, sifat, tugas, dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang di bentuk, dibuat dan di
konstruksioleh masyarakatdan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Isu gender diartikan sebagai masalah
yang menyangkut ketidak adilan yang berdampak negatif bagi perempuan dan
laki-laki, terutama terhadap perempuan. Contohnya saja subordinasi
(penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng.
Mengakibatkan perempuan menjadi nomor dua setelah laki-laki.
Salah satu
sendi utama dalam demokrasi yaitu Kesetaraan Gender karena menjamin bebasnya
untuk berpeluang dan mengakses bagi seluruh elemen masyarakat. Gagalnya dalam
mencapai cita – cita demokrasi, seringkali dipicu oleh ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan ini dapat berupa diskriminatif yang
dilakukan oleh merekayang dominan baik secara structural maupun cultural.
Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan
menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan
tersubordinasi. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih
terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah
dianggap tercapai. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan
perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan lakilaki juga
dapat mengalaminya. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala
yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan
gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi merasakan
dampak negatifnya.
Berbagai
cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi ketidaksetaraan gender yang
menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dilakukan baik secara
individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan
internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk, Menjamin Kesetaraan
Hak-Hak Azasi, Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender,
dan Peningkatan Partisipasi Politik.
Hukum adat
sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan
corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat
Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis
yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat
terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata
negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Hukum adat dalam
kaitan dengan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris.
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan
yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari
hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan
dan bahkan saling menentukan.
Perjuangan
emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia
merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat
pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 U U
D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam
berbagai bidang kehidupan.
Hal in jelas
dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih
mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat
diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana
seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan
asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk
berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin. Dalam membahas
masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan
adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut :
Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita”
berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka,
atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Mencermati
ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan
atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar
jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender
seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya
.
2.3 KKG
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui
terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks ( jenis kelamin ).
Kurangnya pemahaman tentang pengertian Gender menjadi salah satu penyebab dalam
pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu persoalan ketidakadilan
social.
Hungu (2007) mengatakan “seks ( jenis kelamin ) merupakan perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks ( jenis
kelamin ) berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara
biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara
keduanya
Sedangkan secara etimologis, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis
kelamin yang diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses social budaya
yang panjang. perbedaan perilaku antara laki – laki dengan perempuan selain
disebabkan oleh factor biologis juga factor proses social dan cultural. oleh
sebab itu gender dapat berubah – ubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu,
bahkan antar kelas social ekonomi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara jenis kelamin dengan
gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan
gender lebih condong terhadap tingkah lakunya. selain itu jenis kelamin
merupakan status yang melekat / bawaan sedangkan gender merupakan status yang
diperoleh / diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan
secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari
melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah
selanjutnya yaitu kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”.
Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. keadilan gender
merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan.
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. sehingga denga hal ini
setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan control atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan
tersebut.
Memiliki akses di atas mempunyai tafsiran yaitu setiap orang mempunyai
peluang / kesempatan dalam memperoleh akses yang adil dan setara terhadap
sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki partisipasi berarti
mempunyai kesempatan untuk berkreasi / ikut andil dalam pembangunan nasional.
Sedangkan memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat
yang sama dari pembangunan.
2.3.1
Kesetaraan Gender di
Indonesia dalam Bermasyarakat
Perbedaan gender terkadang dapat menimbulkan suatu ketidakadilan terhadap
kaum laki – laki dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat
termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni :
a.
Marginalisasi Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan terhadap gender yaitu marginalisasi
perempuan. Marginalisasi perempuan ( penyingkiran / pemiskinan ) kerap terjadi
di lingkungan sekitar. Nampak contohnya yaitu banyak pekerja perempuan yang
tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti
internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan
dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih
memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki, dan
perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara
manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh
tenaga laki-laki. Dengan hal ini banyak sekali kaum pria yang beranggapan bahwa
perempuan hanya mempunyai tugas di sekitar rumah saja.
b.
Subordinasi
Selain Marginalisasi, terdapat juga bentuk
keadilan yang berupa subordinasi. Subordinasi memiliki pengertian yaitu
keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih
utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu terdapat
pandanganyang menempatkan kedudukan dan peran perempuan yang lebih rendah dari
laki – laki. Salah satu contohnya yaitu perempuan di anggap makhluk
yang lemah, sehingga sering sekali kaum adam bersikap seolah – olah berkuasa
(wanita tidak mampu mengalahkan kehebatan laki – laki). Kadang kala kaum pria
beranggapan bahwa ruang lingkup pekerjaan kaum wanita hanyalah disekitar rumah.
Dengan pandangan seperti itu, maka sama halnya dengan tidak memberikan kaum
perempuan untuk mengapresiasikan pikirannya di luar rumah.
c.
Pandangan stereotype
Stereotype dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang
tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum
selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan
pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin,
(perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai
ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap
perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi
dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat,
bahkan di tingkat pemerintah dan negara.
Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan
marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar
nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai
tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan
sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan
laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki
sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung
tidak diperhitungkan.
d. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda
yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan.
Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan
laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi,
menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga.
Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan,
kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan
perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak
ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu
sisi.
Kesetaraan gender di
Indonesia masih dalam konteks perlindungan hak ketenagakerjaan serta upah yang
sepadan, tampaknya kita perlu menilik kembali peran pemerintah terhadap para
pahlawan devisa, khususnya para kaum perempuan. Mereka adalah pihak yang
memliki suara paling kecil untuk didengar oleh pemerintah maupun penegak hukum,
sebab posisinya yang seolah tak memiliki hak yang sama untuk dilindungi secara
penuh oleh kenegaraan.
Masih banyak TKW
Indonesia yang hak-haknya belum sepenuhnya terlindungi oleh negara. Masih marak
pula terjadi kasus yang tak terselesaikan sebab insignifikansi pemerintah
(pemerintah mengganggap masalah ini tidak penting) tentang hal ini. Lucunya,
kasus TKW seringkali hanya disambut dengan komentar ringan berupa ‘pemerintah
belum dapat melindungi hak-hak umum para TKW, serta belum dapat mengawasi
seluruhnya kasus tentang pemerkosaan yang marak terjadi’.
Ini menyangkut soal
hak; yang berarti pula akan menjadi masalah yang memberatkan atau bahkan
menyulitkan Indonesia di kemudia hari jika tak segera diselesaikan dengan aksi
nyata. Apalagi TKW merupakan major labour yang bertugas menopang satu
dari beberapa pilar utama negara, lewat peran pentingnya terhadap pasokan
devisa. Sebab mereka kecil, tak berarti mereka menyumbang peran yang kecil pula
untuk negara.
Bisa jadi, dengan
adanya aksi peningkatan perlindungan kepada TKW secara nyata dan signifikan
dari pemerintah akan memunculkan stabilitas ekonomi lebih mumpuni, sehingga
perannya untuk kesejahteraan negeri secara langsung juga akan terasa besar.
Pertanyaannya, apakah pemerintah bersedia? Sebuah renungan untuk bangsa ini
tentunya.
2.3.2
Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Perempuan sesungguhnya membutuhkan pendidikan seperti halnya dengan laki –
laki. Akan terlihat jelas apabila dilihat dari sejarah masa lalu saat Indonesia
masih di jajah, Para penjajah kurang menghargai kaum perempuan. Mereka berlaku
sewenang – wenang sesuka hati terhadap kaum perempuan di Indonesia. Peristiwa
ini menggambarkan bahwa kesetaraan gender sama sekali belum ditegakkan. Dampak
dari peristiwa tersebut, pandangan – pandangan masyarakat sepeninggalnya yaitu
terdapat masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan belum memiliki kesempatan
untuk berperan sentral diberbagai bidang seperti sekarang ini. Orang tua yang
memiliki pandangan seperti itu, akan menyekolahkan anak laki – lakinya setinggi
– tingginya sedangkan anak perempuan tidak harus bersekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. Salah satu factor peristiwa tersebut yaitu orang tua hanya
beranggaoan bahwa peran perempuan dalam kehidupan tidak lain adalah sebagai ibu
rumah tangga yang tak perlu sekolah tinggi – tinggi. Namun saat ini
pemerintahan telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender. Hal ini
terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia,
dengan hal ini banyak generasi penerus bangsa yang merupakan calon pembangunan
Negara ini mendapatkan mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam
pendidikan. Terlepas dari permasalahan pendidikan yang ada, namun dapat diakui
bahwa pandangan orang tua kolot masa lalu yang tidak menyekolahkan anak
perempuannya kini telah berubah. Terlihat bahwa pada saat sekarang kaum perempuan
pun banyak yang bersekolah hingga jenjang yang tinggi. Selain hak untuk
mendapatkan pendidikan, di Negara Indonesia sebenarnya telah menerapkan
kesetaraan gender dalam tatanan organisasi dari mulai organisasi yang kecil
hingga pemerintahan. Buktinya ialah perempuan pun memiliki peranan yang sama
dalam hal menduduki jabatan tertentu dalam suatu institusi. Presiden Negara
Indonesia yang pernah diduduki oleh seorang perempuan yaitu Megawati Soekarno
Putri merupakan bukti real-nya.
2.4 PUG
Pengarusutamaan gender (gender
mainstreaming) adalah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender
melalui kebijakandan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan, dan permasalahan perempuan, dan laki-laki kedalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi,dari seluruh kebijakan dan program di
berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Pengarustamaan gender penting
dikarenakan agar dapat membuat dan mengambil kebijakan seperti: memiliki
kepekaan gender, yaitu kepekaan terhadap perbedaan masalah uang dihadapi maupun
perbedaan kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki khususnya yang
berkaitan dengan penghormatan atas hak-hak azasi perempuan, misalnya: hak
reproduksi, dan hak politik perempuan. Semua ini dapat dilihat dalam UU NO. 7/1984.
Selain itu ke pemerintah dan pengaturan masyarakat oleh negara maupun institusi
sosial lainnya yang lebih baik.
2.5 Gender Dalam
Kurikulum Dan proses Pendidikan
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan
oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia
pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
1.
Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang
sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun
untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak
setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa
yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat
yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya
ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab
itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban
tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit
meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan
banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
2.
Partisipasi
Aspek partisipasi dimana tercakup
di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita
di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan
tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak
terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan
formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga
terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal
ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan
berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari
nafkah.
3.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan
banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah
penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823
orang di antaranya atau 67,85persen adalah perempuan.
Pendidikan
tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara
sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai
termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang
berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi
guru-guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada
saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi
gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid,
penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa
laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya
memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam
penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan
kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Idris,
semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar
kesenjangan gender dalam pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan
perbandingan upah laki-laki adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender
dalam pengupahan untuk pendiidkan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 %
untuk perempuan.
2.5.1
Pendidikan memandang Gender
Dalam deklarasai Hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :” Setiap
orang berhak mendapatkan pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling
mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar semua bangsa,
golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan kegiatan PBB dalam
memelihara perdamaian dunia …
“.
Terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya pendidikan bukan hanya
dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan
bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan
demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di
masyarakat.
Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan dengan
tuntutan zaman, yaitu kualitas yang memiliki kaimanan dan hidup dalam ketakwaan
yang kokoh, mengenali, menghayati, dan menerapkan akar budaya bangsa,
berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan, dan keterampilan
mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik,
terbuka pada hal-hal baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang
tinggi, dan bisa meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga
diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan
dan minatnya.
Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui
perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004 tinggal
bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada
kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat
pada kurang optimalnya sumber daya manusia yang optimal yang unggul disegala
bidang tanpa memandang jenis kelamin.
Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran yang
sesuai dengan bakat minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada
pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan
ketrampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang
tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk
memperjuangkan persamaan sesungguhnya.
2.5.2
Membangun
Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau
penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif dengan
berkolaborasi dengan kebutuhan jaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah
untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender yang selama ini
terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam masyarakat.
Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak masyarakat sekolah dan
masyarakat di sekitarnya untuk mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut
sekaligus mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih
berpihak kepadakeadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.
1.
Analisis Gender
di Lembaga Sekolah
ntuk melakukan perubahan dalam suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa
melangkah berdasarkan asumsi-asumsi belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan
data-data yang lebih konkrit yang didapat dari pengamatan, penelitian
dianalisis kiritis terhadap lembaga sekolah. Data-data inilah yang kemudian
akan dijadikan patokan untuk melangkah dan mengambil keputusan-keputusan
strategis dalam melakukan perubahan-perubahan yang dibutuhkan. Pengamatan itu
hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang biasanya tergenderkan dalam sebuah
organisasi atau lembaga seperti misalnya: ideologi-ideologi dan
tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya, struktur-struktur yang
dibangun, gaya manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan, pengaturan/tata ruang
kantornya, ungkapan-ungkapan,hubungan kekuasaaan, lambang-lambang yang
digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana lembaga sekolah
tergenderkan
2.
Guru/Pendidik
sebagai Pilar
Guru harus diupayakan mendapatkan akses terhadap dasar-dasar pengetahuan
dan pendidikan gender terlebih dahulu, untuk membukakan pikiran dan nurani akan
adanya persoalan tersebut. Jika guru/pendidik sudah mendapatkan akses yang
cukup terhadap pengetahuan gender, maka komitmen yang sangat penting untuk
dijadikan landasan membangun pendidikan gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Apabila guru memiliki sensitivitas gender maka akan memiliki itikat untuk
menciptakan keadilan dan kesetaraan gender dengan sendirinya, melalui proses
pembelajaran di kelas, dalam pembuatan soal dan dalam perlakuan di kelas.
3.
Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh
sekolah adalah metode pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan
klasik, yang memungkinkan adanya penerimaan imu secara bulat (taken
forgranted) yang tak terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit
bagiadanya dialog dan diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat
dengan problematik-problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya
dialog dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa
adanya, jelas tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus
diupayakan kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar
konsep-konsep penting pendidikan gender dapat lebih mudah tercerap oleh para
siswa.
4.
Bahasa bukan
Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan peka gender,
karena di dalam bahasa, lewat pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat
atau ujaran yang digunakan dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa
yang dimaksud juga tidak terbatas pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non
verbal, bahasa tubuh seperti cara bersalaman, memberi penghormatan, memandang atau
mengerling menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan peran
bahasa dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting dalam
pendidikan.
Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan
antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical
genderneeds). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya.
Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari
rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan pemerintah
dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi ilmu pengetahuan.
2.5.3
Strategi utama
menuju kesetaraan gender dalam pendidikan
Adapun strategi utama menuju kesetaraan gender dalam pendidikan adalah
sebagai berikut:
1.
Penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama
pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui
pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
2.
Penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk
usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;
3.
Peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan
bagi penduduk dewasa terutama perempuan
4.
Peningkatan
koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan
berwawasan gender; dan
5.
Pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di
tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pengaplikasian
gender melalui pembelajaran merupakan upaya menyetarakan kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam menyongsong era globalisasi dewasa ini.
Direalisasikan atau tidaknya pengintegrasian gender dalam pembelajaran, banyak
di tentukan oleh guru dan bagaimana cara guru mengintegrasikannya. Oleh sebab
itu apa yang diharapkan terjadi pada siswa harus di sadari sepenuhnya, perlu di
rencanakan, diprogramkan dengan baik serta dilaksanakan dengan konsekuen dan
konsisten sebab proses pembelajaran serta segala aktivitas yang terjadi dan
dialami oleh tiap anak akan turut juga membentuk jiwa, sikap dan kepribadiannya
kelak. Memang pada dasarnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara
orangtua, masyarakat dan pemerintah. Namun demikian, pembentukan wawasan
(kognitif), sikap(afektif), dan keterampilan (psikomotorik) yang berlangsung di
kelas menjadi tanggung jawab guru. Karena itu para guru diharapkan membantu
membangun jiwa dan keperibadian anak untuk menghadapi era globalisasi mengingat
perempuan juga punya potensi dan dapat diandalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Muthali’in, Achmad.2001. Bias gender
dalam pendidikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sembiring, Dermawan. 2014. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar.
Medan: Universitas
Negeri Medan
Anonim.2011.http://kantongajaibputri.blogspot.com/2011/11/tugas-isbdmanusia-
sebagai-makhluk.html
(Di Akses Tanggal 30 agustus 2014)
Posting Komentar untuk "CONTOH MAKALAH EMANSIPASI KESETARAAN GENDER"
Posting Komentar