Contoh Karya Tulis Ilmiah (KTI) tentang "Ilmu Fiqih"

KARYA TULIS ILMIAH “ILMU FIQIH”

Karya tulis ilmiah adalah sebuah karya yang dibuat melalui penulisan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yakni mengutamakan aspek yang objektif dan faktual serta mengusung aspek rasionalitas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karya, dapat diartikan sebagai hasil sebuah usaha, upaya, perbuatan atau ciptaan, sedangkan tulis, atau menulis memiliki arti segala kegiatan yang terkait dengan huruf, angka, pena, atau media tulis yang lain. Sedangkan Ilmiah berarti bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, atau memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. 




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu fiqih adalah salah satu hal yang erat kaitannya dengan islam. Semua yang berkaitan dengan ibadah dalam Al-Quran bersifat umum, jadi semua dijabarkan di dalam ilmu fiqih. Hal ini agar memudahkan para pemeluk agama islam. Karena pada dasarnya agama islam itu mempermudah pemeluknya, bukan malah mempersulit.

Indonesia tempat dimana ilmu fiqih sangat diperlukan. Namun sedikit sekali orang yang mau mencaritahu tentang asal-usul fiqih Indonesia. Maka dari itu dalam karya tulis ini akan membahas tentang fiqih Indonesia.

Hukum Islam (fiqh) adalah hasil ijtihad yang tidak lepas dari karakter sosio kultural yang melingkupinya. Sosio kultural dalam konteks Indonesia adalah ‘URF  (adat kebiasaan masyarakat  yang berlaku di Indonesia). Pengambilan ‘urf sebagai bagia n dari sumber hukum Islam dalam sejarah telah sering dilakukan oleh para ulama fiqh. Dalam perspektif diatas, Hukum Islam dengan karakter Indonesia (fiqh Indonesia) dapat dibentuk justru tdk dari nol, tetapi sudah ada bahan bakunya yaitu ‘URF (adat masyarakat). Dalil-dalil Ijtihadi, seperti maslahah mursalah memberi ruang gerak yang lebih komprehensif di dalam melakukan ijtihad baru utk merumuskan fiqh Indonesia yang sesuai dengan nuansa bgs Indonesia.



1.2 Rumusan Masalah

Ada beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan karya tulis yang berjudul “Fiqih Indonesia”, antara lain :

  1. Apakah yang dimaksud Fiqih Indonesia?
  2. Sejak kapan Fiqih Indonesia ada?


1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan karya tulis yang berjudul “Fiqih Indonesia”, yaitu:

  1. Menjelaskan dan mendekripsikan mengenai Fiqih Indonesia
  2. Membahas Awal muncul Fiqih Indonesia


1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat karya tulis yang berjudul “Ilmu Fiqih” ini, yaitu :  

  1. Dapat memahami tentang Ilmu Fiqih
  2. Menjadi wawasan bagi pembaca mengenai Ilmu Fiqih


BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Reorientasi Fiqih Indonesia

Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak rakyat Indonesia.(Fiqih atau hukum Islam yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia). Penggagas Fiqh Indonesia : Prof. Dr. TM Muh. Hasbi ash-Shiddieqiey.

Namun tidak semua setuju dengan adanya Fiqih Indonesia, ada pro dan ada yang kontra. Pihak yang kontra terhadap fiqih beranggapan bahwa fiqih bersifat universal (Bukan syariah). Alie Yafie dan Ibrahim Hosen merupakan tokoh yang menolak adanya fiqih Indonesia. Meraka mengukur suatu konsep Fiqih Indonesia dengan anggapan mereka berdua, bukan berdasarkan konsep dari pencetus Fiqih Indonesia. Hal itu disebabkan oleh keengganan mereka berdua dalam meneliti Fiqih Indonesia secara teliti dan detail. 

Sebaliknya, orang yang pro terhadap Fiqih Indonesia seringkali mencerminkan sikap yang sama. Mereka mendukung apa yang tidak diketahui. Hal itu dapat dilihat dalam buku Fiqih Indonesia dalam Tantangan. Menyebut bahwa Fiqih Indoensia gagasaan Hasbi saja, sedangkan mereka tidak, apalagi mengetahui ruang lingkup dan metodeloginya. Kesalahan ini diperjelas dengan pendapat Dr. Alyasa Abubakar yang tidak membedakan antara teori Mahzab Nasional (Hazairin dan Fiqih Indonesia (Hasbi).Hal itu dimulai ketika Alyasa menulis buku yang berjudul Fiqih Indonesia dalam Tantangan. 


2.2. Fiqih Indonesia dan Reformasi Hukum Islam di Indonesia Abad ke-20

Secara garis besar, ada dua tema reformasi hukum Islam di Indonesia, yaitu : 1. Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah 2. Keinodnesiaan

Pada tema pertama bertujuan membersihkan praktik-praktik umat Islam dari pengaruh non Islam, membuka pintu ijtihad yang selama ini tertutup, mengganyang taklid, memperbolehkan talfik dengan cara memperkenalkan studi perbandingan mahzab. Reformasi ini di motori oleh ulama yang kurang menguasai sistem hukum Indonesia seperti A.Hasan, Moenawar Chalil, dan Hasbi. Ada pun organisasi dalam katagori ini, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad.

Keindonesiaan pada dasarnya kelanjutan dari tema pertama. Namun disisi lain tema ini kembali pada pandangan tradisional yang berusaha mempertahankan adat Indonesia. Ada dua kecenderungan utama tentang tema ini : Pertama, cita-cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dengan cara membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya konsep Fiqih Indonesia (Hasbi, 1940), Mahzab Nasional (Hazairin, 1950), Pribusasi Islam (Abdurrahman Wahid, 1988), Reaktualisasi Ajaran Islam (Muwari dkk, 1988) dan Zakat sebagai Pajak (Masdar F.Mas’udi 1991).

Kecenderungan yang kedua adalah keindonesiaan yang berorientasi konstitutional. Ini di motori oleh tokoh oleh tokoh-tokoh umum yang menguasai sistem hukum Indonesia, tetapi kurang medalami konsep-konsep “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah”.  


2.3. Metodologi Fiqih Indonesia

Fiqih Indonesia, sebagai suatu upaya pembaharuan bercorak lokal, harus terlebih dahulu menentukan ruang lingkup dengan cara membedakan tiga istilah di Indonesia yang sering dianggap sama.

Fakultas Hukum Islam di lingkungan perguruan tinggi yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan istilah untuk menyebut mata kuliah yang membahas tentang perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Batasan semacam ini menurut Hasbi jelas berakibat menciutkan pengertian syari’ah yang mencakup hukum-hukum akidah, akhlak, dan amaliah. Fiqih yang secara teknis sering dipahami sebagai ”hukum-hukum syari’ah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya”, merupakan bagian dari syari’ah itu sendiri, tetapi lebih luas daripada hukum Islam karena fiqih mencakup hukum-hukum muamalah dan ibadah, di mana aspek yang terakhir ini mencakup dalam istilah hukum Islam. Menyadari konsekuensi yang harus diterima bahwa menyamakan syari’ah dan fiqih berarti menganngap keduanya bersifat universal, absolut, dan abadi, maka Hasbi mengatakan bahwa syari’at Islam sajalah yang memiliki ketiga sifat tersebut. Dengan kata lain, syari’ah, begitu menurut Nourouzzaman menjelaskan pendapat Hasbi lebih sebagai hukum in abstracto dan sebaliknya fiqih lebih bersifat sebagai hukum in concreto. Lebih lanjut, Hasbi membagi fiqih menjadi fiqih Qur’ani yaitu hukum yang secara tegas ditemukan di dalam al-Qur’an dan fiqih Nabawi yaitu hukum yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an tetapi ditegaskan oleh Hadis. Ketiga adalah fiqh ijtihadi yaitu hukum-hukum yang dicapai melalui ijtihad para ulama. 

Fiqih ijtihadi merupakan inti fiqih Indonesia yang dijiwai oleh syari’ah, bersifat dinamis dan elastis karena dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Jadi fiqih ijtihadi bersifat lokal, temporal, dan realtif. Jelaslah di sini bahwa kritik Alie Yafie dan Ibrahim Hoesen yang beranggapan bahwa fiqih itu bersifat universal, tidaklah mengenai sasaran. 

Hal ini diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa Hasbi membatasi ruang lingkup fiqih Indonesianya pada bidang non-ibadah dan non-qat’i. Untuk menjustifikasi lokalitas fiqih Indonesia, Hasbi berpegang pada sejarah perkembangan fiqih (tarikh tasyri’). Tarikh tasyri’Hasbi, menurut Hasbi membuktikan bahwa fiqih lokal telah muncul sejak awal penyebaran Islam melawati batas-batas Mekah dan Madinah. Mazhab Hanafi di Kufah, Maliki di Madinah, Syafi’i di Baghdad (mazhab qadim) dan kemudian di Mesir (mazhab jadid), di samping mazhab Hambali di Baghdad, tentunya merupakan bagian dari contoh yang populer. Lokalitas mazhab-mazhab ini menurut Hasbi, dikarenakan perbedaan pendapat, tempat, adat istiadat dan jiwa si mujtahid sendiri. Walau dilegitimasi oleh tarikh tasyri Hasbi masih saja menekankan bahwa lokalitas fiqih Indonesia harus ditopang oleh studi kasus (dirasat al-waqa’i) mengenai masyarakat Indonesia dengan sistem masyarakat lainnya yang sezaman. Studi ini harus menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan studi hukum secara umum untuk melihat pengaruh dan kemampuannya menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya, dan setelah itu barulah memasuki fase problem soulving. 

Hasbi menganjurkan agar para pendukung fiqih Indonesia menggunakan metode perbandingan mazhab manakala problem yang dihadapi sudah diberikan pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai mazhab yang ada. Perbandingan yang tidak terbatas pada mazhab Sunni ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, memilih dari kalangan empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab termasuk non-Sunni. Kedua-duanya dilakukakn demi mencari pendapat yang paling sesuai dengan konteks ruang, waktu, karakter dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Studi perbandingan mazhab ini harus diikuti dengan studi perbandingan ushul fiqh dari masing-masing mazhab, dengan harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu atau bahkan bersatu.

Studi perbandingan ushul fiqh ini dilakukan dengan tahapantahapan sebagai berikut :

1. Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegang oleh setiap imam mazhab maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan meneliti alasan-alasan mereka.

2. Mengkaji dalil-dalil yang dijadikan rujukan maupun yang diperselisihkan.

3. Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam mazhab mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih argumen-argumen yang kuat.

Tahapan-tahapan tersebut harus didukung dan didahului dengan pendirian Fakultas Ushul Fiqh atau paling tidak Jurusan Ushul Fiqih. Hasbi lebih menguatkan bahwa fiqih Indonesia akan sangat fleksibel jika didukung oleh perbandingan yang bersifat sistematis antara fiqih dan hukum adat Indonesia, antara fiqh dan sistem hukum Indonesia, antara fiqh dan syari’at (agama-agama) lain, dan antara fiqh dengan sistem hukum internasional. Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan

agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan illat (kausa) hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya :

1. Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak menyangkut masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas dalalah, tidak berlaku.

2. Istihsan dengan berbagai macamnya : istihsan bin naas, istihsan bil ijma’, istihsan bil qiyas, istihsan bid daruraah, istihsan bil maskahah, dan istihsan bil ’urf.

3. Istislah, dengan ketentuan bahwa sesuatu dapat dinyatakan sebagai maslahat jika merupakan maslahat hakiki; berlaku umum tidak hanya terbatas pada segelintir orang; harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Jika maslahah bertentangan dengan nash, maka maslahah mentakhsis (mengkhususkan) nash dengan menjadikan hadis ”La darara wa la dirara” sebagai kata kunci di akhir analisa.

4. ’Urf dengan ketentuan tidak menghalalkan barang haram dan tidak mengharamkan barang halal; dapat mendatangkan maslahat dan mengholangkan mafsadat; tidak bertentangan dengan nash sharih (ekspilist); di samping itu harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Atau

5. Istishab. Metode-metode ini selalu berjalan seiring dengan kaidah-kaidah yang relavan.


2.4. Mengindonesiakan Fiqih Indonesia

Tuntutan bahwa Fiqih Inodnesia mengimplikasikan Ushul Fiqih Indonesia akan mulai terjawab ketika dua komponen metodologi Fiqih Indonesia diindonesiakan. 

Pertama, urf Indonesia dijadikan salah satu sumber hukum Islam di Indonesia. Disini hasbi memainkan peran penuh dalam mendekatkan kaum reformis puritan dengan praktik hukum umat Islam Indonesia. 

Kedua, ijma’, Hasbi baru sampai pada tingkat teoritis melalui ijtihad jama’i dengan lembaga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd-nya. Di samping itu, beberapa lembaga yang didirikan umat Islam Indoesia belum ada ketika Hasbi mengemukakan pemikirannya. Oleh karena itu, ada baiknya kita kaitkan lembaga tersebut dengan lembaga sosial politik yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

Hay’at al Tastri’iyyah bisa dikatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan mujtahid-mujtahid yang diambil dari perwakilan organisasi Islam. Ahl al-Hall wa al-‘Aqd dianggap Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Hay’at al-Siyasah dapat diterjemahkan jadi Dewan Perwakilan Rakyat dan Mejelis Permusyawaratan Rakyat. Umat Islam dapat memanfaatkan lembaga ini untuk tujuan yang sama demi terundangkannya nilai-nilai hukum Islam yang pelksanaannya memang membutuhkan legitimasi kekuasaan, dengan tidak memaksakan bidang-bidang yang tidak membutuhkan legitimasi kekuasaan.

Secara sejarah Fiqih Indonesia dikemukakan pada tahun 1940, sebelum Indonesia merdeka, dimana hal tersebut untuk menentang penjajah Belanda. Kata Fiqih Indonesia mencerminkan bahwa jiwa Hasbi adalah reformis yang dengan tegas mengatakan bahwa suatu mahzab akan lebih cepat berkembang apabila dianut oleh pemerintahan.Intinya Hasbi lebih menekankan pada kerjasama antara manusia.

Ahl al-Hall wa al-‘Aqd jika semua anggotanya sepakat untuk memberlakukan hukum Islam untuk umat Islam Indoensia, amak undang-undang merupakan manifestasi Fiqih Indoensia. Contohnya, UU No.1/1974 tentang Perkawinan, UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, Bahkan UU yang tidak berlabelkan Islam seharusnya juga jadi manifestasi Fiqih Indonesia selagi tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal serta kemaslahatannya bersifat hakiki, nyata dan untuk umum.


BAB III
 PENUTUP

4.1  Kesimpulan

Hukum Islam (fiqh) adalah hasil ijtihad yang tidak lepas dari karakter sosio kultural yang melingkupinya. Sosio kultural dalam konteks Indonesia adalah ‘URF  (adat kebiasaan masyarakat  yang berlaku di Indonesia). Pengambilan ‘urf sebagai bagia n dari sumber hukum Islam dalam sejarah telah sering dilakukan oleh para ulama fiqh. Dalam perspektif diatas, Hukum Islam dengan karakter Indonesia (fiqh Indonesia) dapat dibentuk justru tdk dari nol, tetapi sudah ada bahan bakunya yaitu ‘URF (adat masyarakat). Dalil-dalil Ijtihadi, seperti maslahah mursalah memberi ruang gerak yang lebih komprehensif di dalam melakukan ijtihad baru utk merumuskan fiqh Indonesia yang sesuai dengan nuansa bgs Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Ainurrofiq, Yogyakarta: Ar-Ruzz dan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, 2002.

Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang,1967.










Posting Komentar untuk "Contoh Karya Tulis Ilmiah (KTI) tentang "Ilmu Fiqih" "